Tuesday, February 06, 2007

Aku Tahu Rasanya

“Aku tau rasanya dikhianati oleh kekasih... Aku tau rasanya ditinggal pergi oleh kekasih... Yang kusayangi setengah mati…” Sebenarnya, ini bukan masalah hati saya, tapi rasanya kok cukup mengganggu yah? Dari telinga masuk ke benak perlahan-lahan, kata demi kata. Sepertinya ada sesuatu yang aneh dan kurang pas aja.

Apakah benar bahwa ini adalah masalah dalam penggunaan tata krama berbahasa Indonesia yang baik dan benar? Yang sudah terlalu lama di pandang sebelah mata bahkan oleh urang-awak sendiri? Yang dibiarkan terdegradasi menjadi bahasa harian tanpa pakem dan tanpa pengawasan? Yang pada akhirnya hanya menjadi sebuah: Ya sutralah mau diapain lagi bow? Cape-deh.

Sebenarnya saya tidak mengganggap ada yang salah dalam hal ini. Asalkan bahasa yang informal ataupun yang akrab untuk dilafalkan sehari-hari tersebut dipergunakaan dalam siklus percakapan sewajarnya dari umat ke umat. Tetapi menurut saya, setidaknya pihak media mempunyai sedikit tugas untuk tetap bertanggung jawab sebagai corong pendidik masyarakat. Dalam hal ini untuk menyebarluaskan bahasa Indonesia seperti zaman para proklamator kita itu.

Pada kemana yah, alur-alur kata yang mengalir dengan cantik dan anggun seperti yang dulu-dulu? Zaman itu saya masih ingat bahwa tidak semua orang mampu mencerna halaman depan sebuah surat kabar nasional dengan baik. Apakah mungkin karena kosa katanya yang terlalu berwibawa? Bandingkan dengan tabloid populer yang ber-head-line: “Suami Banyak Utang Stress Lalu Bakar Istri Sendiri Pakai Minyak Tanah Sampai Hangus Ngga Bisa Dikenali Lagi...”

Banyak pihak yang nampaknya tidak sadar akan kekuatan dari tutur kata. Apalagi bila jalinan huruf dan kalimat terus menerus diulangi, disebarluaskan, dan dipopulerkan oleh ratusan stasiun radio, televisi atapun situs-situs internet moderen saat ini. Genre musik pop-pun tanpa disadari turut menjadi tauladan bagaimana generasi ini harus berceloteh dan bercengkrama dalam kesehariannya.

Ambil saja lirik di atas. Kalimat-kalimat yang saya petik tadi berasal dari lagu pembuka dalam album teranyar Pinkan Mambo, yang memang diberi label “Aku Tahu Rasanya”. Kalimat terakhir yang mengganggu saya adalah: “Yang kusayangi setengah mati”. Saya sebetulnya cukup yakin bahwa Mbak Trie Utami sebagai penulis dan pencipta lagu tersebut mampu mencari padanan dari kalimat “setengah mati” yang terlalu sehari-hari itu hingga kemudian menjelmakannya menjadi sesuatu yang lebih elegan.

Dalam bermusik, tentu saja jumlah suku kata sangatlah berpengaruh dalam pilihan katanya. Misalnya, teks “setengah mati” tidak bisa sekenanya diganti dengan kalimat “sangat mendalam” karena akan ada sebuah kata sambung yang hilang bila dibubuhkan dalam potongan irama tersebut. Atau mungkin faktor “terlalu kuno” atau “tidak populer lagi” membuat beberapa kalimat cantik terasa dihindari banyak pencipta lagu belakangan ini?

Masih terngiangkah lagu “Bila Kuingat” -nya Lingua di telinga Anda? Aransemen musik dan lirik yang sangat cantik dan mendayu itu harus ternodai oleh sebuah kata tunggal yang merusak keseluruhan lagu. Sayang sekali rasanya, apalagi nada-nada tersebut harus keluar dari dapur pacu sosok sekaliber Yovie Widianto:

“Bila kuingat janji manismu… Kutunggu sampai malam meninggalkanku. Semoga bukan angan… Yang kelamaan

Hingga saat ini saya masih tidak sepenuhnya mengerti maksud dari penggunaan kata “kelamaan” dalam lirik lagu itu. Apakah “kelamaan” di sini berarti “takut terlambat” atau malah “sudah terlambat”? Apakah kata “telah” masih bisa disematkan di sana? Misalnya: “Semoga bukan angan… Yang t’lah terlambat…”. Masih cantik bukan untuk mengakhiri lagu tersebut?

Yah, terus terang saja saya tidak terlalu berharap banyak atas grup musik Tangga dengan lagu andalan terbarunya, Cinta Begini. Bahkan judulnya saja, Cinta Begini, sudah terdengar tidak lazim untuk dipergunakan sebagai sebuah judul. Cinta seperti apa sih yang ingin kau jual dalam albummu itu? Sebelum saya lanjutkan, saya harus jujur mengakui bahwa saya telah terlanjur jatuh cinta dengan aransemen dari lagu tersebut. Bahkan dengan komposisi lirik yang terdengar aneh-pun, semuanya dapat saya maafkan.

Pertama, kalimat pembuka:
“Aku bisa terima
Meski harus terluka
Karena ku terlalu mengenal hatimu…”

Kemudian untaian mutiara di atas dihantam oleh bait kedua yang tepat menghadang setelah chorus berlalu:
“Ku tak bisa terima
Bila terus tak setia
Menghianati dia
Menduakan cinta”

Jadi apakah sebenarnya beliau-beliau ini bisa terima atau tidak bisa terima dengan keadaan yang dialaminya? Apakah bait pertama seharusnya dinyanyikan oleh pihak pertama dan bait penghantam tadi dinyanyikan oleh pihak yang “tak tahan untuk kembali ke yayang lainnya”? (Apakah pertanyaan ini terjawab dalam video-klipnya yang belum sempat saya simak hingga saat ini?)

Belum lagi adanya pemaksaan kata dalam segaris alunan:
“Kau takkan bisa lama
Berpaling darinya…”

Potongan melodi yang seharusnya terbagi menjadi enam suku kata kemudian digemukkan menjadi tujuh suku kata dalam “Kau takkan bisa lama”. Pemaksaan di sini terdengar aneh dan sangat mengganggu alunan musik yang seharusnya indah.

Tidak hanya berhenti di sana… Bahkan Andi Rianto yang dengan piawainya berkolaborasi dengan Monty Tiwa-pun tak luput dari penggunaan kata yang redundant, atau “berulang” yang seharusnya dapat dicari padanan kata lainnya:

“Jangan pernah ada pernah…Terucap lagi. Aku benci kata itu. Karena cinta kita bukan pernah… Tapi ada sekarang dan untuk selamanya…”

Melodi yang cantik akhirnya harus terusik dengan redundancy (pengulangan yang terlalu sering) dari kata “pernah” yang seolah dipaksa bekerja rodi dalam penggunaannya hanya karena memang lirik tersebut khusus dipersiapkan untuk lagu yang berjudul “Pernah”.

Jika tak mau “terucap lagi..” di masa yang akan datang, mungkin kata “pernah” yang pertama setidaknya dapat disubstitusikan dengan:

Jangan akan ada pernah… Terucap lagi…” (dari “Jangan pernah ada pernah...”)

Dan pada akhirnya Mbak Pinkan Mambo sangatlah pantas kita pergunakan sekali lagi untuk menyudahi tulisan ini.

Ingatlah kembali lirik-lirik di atas. Bisa jadi, karena beliau terlalu sering disakiti hatinya oleh pria-pria berhidung belang dengan: “Aku tau rasanya dikhianati oleh kekasih... Aku tau rasanya ditinggal pergi oleh kekasih... Yang kusayangi setengah mati…”

Maka beliau memutuskan untuk membalas dendam dalam kisah asmaranya yang selanjutnya (yang benar-benar diletakkan sebagai lagu bernomor urut dua) dengan lagu “tukang selingkuh” yang bertajuk, “Dirimu Dirinya”:

“Ku tak ingin hidup tanpa rasa bahagia
Bahagiaku bila banyak cinta…

Pernah ku setia namun hidup terasa hambar
Bukannya aku jahanam…
Ku hanya mencari senang…”

Baiklah Mbak Pinkan, bila dengan begini dirimyu tetap tidak merasa sebagai seorang jahanam …

Yang pasti…
Aku Tahu kok…
RasanyaThesaurus Bahasa Indonesia bole dicoba tuh.

Ternyata ya, band-band Rock Indonesia sepertinya lebih romantis dan cantik dalam mengemas balada-baladanya. Ga percaya? Hayuh coba dicek dan dibuka iPod-nya masing-masing!

End Note: Thesaurus Bahasa Indonesia is available at your local bookstores. Please use it wisely (and dearly). Terimakasih buat lagu-lagunya yang cantik Mas Yovie, Lingua, Mas Andi dan Monty, Mbak Trie, Mbak Melly dan Mbak Pinkan and all of you guys di Tangga. I still love y’all very much, pengen liat yang lebih baiknya aja di tahun-tahun depan yak!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home